Dilema Pekerja Gig: Merayakan Fleksibilitas, Mengorbankan Stabilitas

Dilema Pekerja Gig: Merayakan Fleksibilitas, Mengorbankan Stabilitas

0 0
Read Time:1 Minute, 3 Second

Ekonomi gig (gig economy), yang didorong oleh platform aplikasi seperti ojek online, kurir logistik, dan freelancer digital, telah mengubah wajah ketenagakerjaan. Artikel ini mengupas dilema yang dihadapi jutaan pekerja gig: di satu sisi mereka menikmati fleksibilitas jam kerja, namun di sisi lain mereka kehilangan stabilitas, jaminan sosial, dan hak-hak kerja fundamental.

Bagi banyak orang, ekonomi gig adalah berkah. Ia menyediakan lapangan kerja instan bagi mereka yang sulit menembus pasar kerja formal. Menjadi “mitra” (bukan karyawan) berarti mereka memiliki otonomi untuk menentukan kapan dan berapa lama mereka ingin bekerja, sebuah fleksibilitas yang sangat menarik bagi mahasiswa atau pencari pendapatan tambahan.

Namun, status “mitra” ini adalah pedang bermata dua. Karena tidak diakui sebagai karyawan, pekerja gig tidak mendapatkan hak-hak dasar seperti upah minimum, tunjangan hari raya (THR), cuti berbayar, atau asuransi kesehatan dari perusahaan (di luar skema dasar). Pendapatan mereka sangat fluktuatif, bergantung sepenuhnya pada algoritma aplikasi, insentif yang selalu berubah, dan jumlah pesanan.

Dilema ini menciptakan kelas pekerja baru yang rentan. Mereka adalah wirausahawan independen di atas kertas, tetapi dalam praktiknya, mereka dikendalikan oleh algoritma platform yang tidak terlihat. Masa depan pekerjaan menuntut regulasi baru yang dapat memberikan jaring pengaman (seperti jaminan sosial yang fleksibel) bagi pekerja gig, tanpa harus membunuh fleksibilitas yang menjadi daya tarik utama ekonomi ini.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%